Antologi Puisi
Antologi Puisi
Ika Amalia MN
Dairy Biru
“Bagiku langit adalah lukisan alam terindah, dan laut adalah alunan alam paling merdu”
Biru...
Bukankah biru adalah warna langit, yang mana dapat dilukiskan berbagai cerita disana. Kadang terlukis kisah warna-warni pelangi, tak jarang terpasang gemerlap bebintang. Pula secercah pancaran rembulan yang mana cahaya yang dipancarkannya adalah pinjaman dari kawan yang tak pernah ia temui. Bahkan darinya kadang tampak seluruh gulita, tak ketinggalan awan hitam ataupun awan putih mengkilat menjadi hiasannya, dan tentu lainnya yang mampu tertangkap ataupun tidak oleh pandangan netra biasa. Bagiku langit adalah lukisan alam terindah selain dapat dijadikan cermin kehidupan.
Bukankah pula biru adalah warna lautan yang mana di dalamnya tersimpan cermin kehidupan, layaknya langit. Mulai dari guliran ombak, yang bagiku merupakan alunan alam paling merdu. Pula tegaknya simphoni indah serta koral karang terjal. Hingga hukum kahidupan laut yang laksana hukum rimba di hutan.
Inilah himpunan kisah hidupku yang ku untai dengan sahabatku, yakni bahasa. Lalu ku abadikan dalam dairy biruku. Sembari tatkala pena menari diatas lembarannya, sukma berharap termaktubnya melodi rupa-rupa bersenandung dalam ritme kehidupanku.
Anugerah Ilahi
Manakala pagi buta disambut mentari ceria
Teteskan kehangatan bagi penghuni kolong surga
Mulailah pasang-pasang netra menerka
Menatap sesaknya dunia fana
Penuh lalu lalang makhluk berjuluk manusia
Terlalu banyak mengaku hamba
Namun tiada mengerti perintah tuhannya
Atau mengert,i tapi tiada tunaikannya
Mata bersaksi dalam terang lentera
Tapi tidak dengan hati mati
Bertempat pada kegelapan
Meski seratus lentera terangi
Dalam gersang tandusnya perjalanan
Oase tampak di pucuk penantian
Berisikan air bening pelepas dahaga panjang
Mengobat hati yang kering kerontang
Kerdilnya diri bersyukur atas anugerah terindah ini
Dinnil Islami
Raga Kerdil
Hujan malam lenyap tak berbekas
Berganti cerah kian memanas
Menyeret deret lapis awan hitam
Menjelmakan bumi bak miniatur jahannam
Dengan jiwa berkubang nista
Lisan tersatu dengan dusta
Perkenankan ku ‘tuk memohon penghapusan dosa
Dosa yang mengakar di kedalaman jiwa
Perkenankan ku ‘tuk senantiasa memutar tasbih cinta
Berkumit menyebut keagunganMu Azza wa Jalla
Ridloi ku ‘tuk senantiasa lantunkan sabdaMu
Tanpa kekeliruan menyatu
Ikhlaskan ku ’tuk menderaikan syariatMu
Disetiap langkah kala jantung masih berdetak merdu
Izinkan ku ‘tuk panjatkan segenap cinta
Yang mengguyur membasahi jiwa
Ku memohon penjagaanMu
Atas raga kerdil nan kaku
Ku mengharap penyematan cintaMu
Pada jiwa yang masih tercumbu durja bisu
Tangan Bijaksana
Adalah takut ketika semua tak kupahami
Kapankah kebebalan akan merontokkan diri
Salahkah bila munajat ku meminta tuk mampu seharusnya
Mungkinkah daku adalah sampah yang dipungut tangan bijaksana
Tapi mengapa syukurku belum seutuhnya
Hampalah jiwa kala menjalani hari-hari dimana saja
Pula raga yang hanya mencoba bertenaga
Adakah salah beranggap mimpi adalah nista
Setelah seolah dia datang memberi harap
Lalu membunuh jiwa yang meratap
Lalu mengapa usai yang benar kudengar
Jiwaku seakan meronta menatap nanar
Mungkinkah hati terlalu disarati penyakit hati
Bukanlah harapan tuk diri menjadi tak terpuji
Puisi Bianglala
Akulah bianglala yang terabaikan oleh masa
Lalu berpuisi layaknya menjadi cemara
Hari ini telah ku temui jawab atas terkaanku salama ini
Ku yakin jikalau diri bukan bait terlarang dari puisi
Bukan pasir yang tercabik ombak sunyi
Tiada lagi pena yang tak mampu untai kata
Tiada lagi derai air mata dengan mudahnya
Tiada lagi hati redam sebab berkalut hampa
Tiada lagi i’tikad yang tergoncang
Sebab mimpi telah bersemayam tenang
Robohlah pundi-pundi rindu
Gubuk gulita sebentar lagi kan bercahaya
Tuhan telah memaparkan jawabnya
Alur hidup seorang hamba bagai melodi rupa-rupa
Jikalah semua seragam pasti tiada kemenarikan darinya
Perhamba berbeda, kadang bernada tinggi berseling nada rendah
Gurat impian telah melekat tak mau diabaikan
Lalu mana mungkin sang pemimpi kan menyingkirkan
Memang dulu serasa semua berakhir tabu
Pasti kala dipersimpangan serasa semua jalan berliku
Namun ternyata dari segala ku petik bekal tuk raih yang utama
Kini raga telah hampir menyatu pada luang waktu yang dirindu
Menyusul jiwa yang tak henti berpamer tentangnya
Sirnakan kekhawatiran, ayunkan semangat harapan
Bukan Bait Terlarang
Hari ini telah ku temui jawab atas terkaanku salama ini
Ku yakin jikalau diri bukan bait terlarang dari puisi
Bukan pasir yang tercabik ombak sunyi
Tiada lagi pena yang tak mampu untai kata
Tiada lagi derai air mata dengan mudahnya
Tiada lagi hati redam sebab berkalut hampa
Tiada lagi i’tikad yang tergoncang
Sebab mimpi telah bersemayam tenang
Robohlah pundi-pundi rindu
Gubuk gulita sebentar lagi kan bercahaya
Tuhan telah memaparkan jawabnya
Alur hidup seorang hamba bagai melodi rupa-rupa
Jikalah semua seragam pasti tiada kemenarikan darinya
Perhambapun berbeda, kadang bernada tinggi berseling nada rendah
Gurat impian telah melekat tak mau diabaikan
Lalu mana mungkin sang pemimpi kan menyingkirkan
Memang dulu serasa semua berakhir tabu
Pasti kala dipersimpangan serasa semua jalan berliku
Namun ternyata dari segala ku petik bekal tuk raih yang utama
Kini raga telah hampir menyatu pada luang waktu yang dirindu
Menyusul jiwa yang tak henti berpamer tentangnya
Sirnakan kekhawatiran, ayunkan semangat harapan
Komentar
Posting Komentar